Katanya, cinta itu universal. Tidak membeda-bedakan siapapun. Walaupun tipe ideal kita serba “wah”, tetapi jika jodohnya orang yang biasa-biasa saja, tetap saja kita akan merasa cocok dengan orang itu…
Seperti aku ini. Aku Yvonne, cewek dari sebuah SMA di Jakarta. Aku terkenal sebagai bunga sekolah. Orang-orang, terutama para cowok, sering memujiku sebagai cewek yang cantik dan pintar (aku juara umum di sekolah ini, lho). Namun, di usiaku yang sudah 17 tahun ini, aku masih saja menjomblo. Ada suatu alasan mengapa aku tidak boleh mempunyai pacar, yaitu karena kata mamaku, aku masih belum cukup umur (padahal teman-temanku banyak yang sudah pacaran sejak SMP).
Namun, namanya manusia biasa, tetap saja aku membutuhkan cinta yang sesungguhnya, dan cinta itu kutemukan ketika aku sedang dalam tugasku sebagai pengawas dalam acara tahunan Masa Orientasi Sekolah.
Ketika itu, aku melihat ada 3 orang anak kelas 2 yang sedang memukuli anak kelas 1 sampai babak belur. Aku segera menghampiri kerumunan anak itu, “Hei kalian! Jangan menghajar junior sembarangan, dong!” gertakku. “Maaf, Kak!” ketiga anak kelas 2 itu langsung lari tunggang langgang.
Aku menatap anak kelas 1 yang tadi dihajar itu. Badannya terluka, dan napasnya terengah. “Makasih, Kak,” katanya sambil tersenyum. “Kamu ga apa-apa? Biar kubawa kamu ke UKS,” kataku menawarkan bantuan. “Nggak usah, Kak, aku bisa ke UKS sendiri, kok, makasih…” katanya sambil membetulkan kacamatanya, lalu beranjak pergi. Aku menatap punggungnya yang pergi menjauh…
***
Entah kenapa, hari ini aku sama sekali tidak menikmati makananku. Padahal di depan mataku ada steak tenderloin kesukaanku. Sepanjang hari ini, aku terus memikirkan cowok kelas 1 itu. Aku tidak tahu siapa namanya. Padahal, aku bunga sekolah…
“Kenapa, Vonne?” tanya mamaku heran, “nggak biasanya kamu ngelamun kayak gini…” Ya, memang biasanya aku nggak kayak gini…
Keesokan harinya, di kelas...
“Vonne, ada anak kelas 1, tuh, nyari lu,” kata Amy, teman sebangkuku. “Thanks, ya, My. Kayak gimana orangnya?” Amy tertawa, “Udah, lu keluar aja…” katanya lagi sambil mendorongku.
Begitu keluar, yang tampak di depan mataku sekilas terlihat seperti cowok yang sangat nerd, yang betah berlama-lama di perpustakaan membaca buku ensiklopedia yang tebalnya beribu-ribu yang tebalnya beribu-ribu halaman dan sangat membosankan. Pokoknya, kesan pertama yang dilihat adalah, ‘Aku ga kenal siapa dia!’ Semua cowok yang kukenal selama ini kebanyakan adalah cowok-cowok ngetop, ganteng, jago olahraga, intinya cowok idaman cewek-cewek pada umumnya, deh! Bukan cowok yang hanya berkutat pada pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan sederetan pelajaran yang membosankan lainnya. Tapi, semakin aku memperhatikannya, aku semakin merasa bahwa aku pernah mengenalnya… Jangan-jangan…
“Siang, Kak! Temani aku ke perpustakaan, yuk!” katanya. Beberapa mili detik setelah dia mengatakan itu, aku menyadari bahwa… “Aku cowok yang Kakak tolong kemarin, lho…”
***
“Vonne, tumben kamu ke perpus! Biasanya kamu paling alergi sama buku!” kata Tia, teman sekelasku yang suka meminjam komik di perpus, “Siapa tuh cowok? Pacarmu, ya?” Mukaku langsung memerah, “Nggak! Mana mungkin gue pacaran sama junior!” “Bukan itu maksudku,” ujar Tia lagi, “tapi kamu itu nggak pantes kalo pacaran sama dia! Orangnya bukan tipe kamu banget, deh!” kata Tia lagi. “Eh, udah dulu ya, Tia!” kataku. Diam-diam aku merasa sangat sedih. Padahal aku belum tahu namanya, tapi kenapa jadi begini? Kutatap anak itu. “Eh, Kak, kenapa? Nggak baca?” wajahnya mengintip dari balik buku. “Nggak ada apa-apa, kok…” bohongku. “Eh iya, kita belum kenalan. Namaku Alan. Nama Kakak siapa?” tanyanya. “Yvonne…” jawabku. “Kak Yvonne, ya…” dia mengulang namaku sambil tersenyum senang. Dan itu menjadi awal dari pertemanan kami.
***
Aku sedang berjalan melintasi taman kota ketika kulihat beberapa fotografer berlalu-lalang lengkap dengan peralatan mereka. Banyak pula orang yang berkerumun. Sepertinya ada pemotretan atau shooting. Dugaanku benar, ada pemotretan model majalah, begitu kata seorang di situ. Ketika aku menerobos kerumunan itu, aku lebih kaget lagi. Aku hampir tidak percaya akan pengelihatanku. Karena… yang menjadi model itu… sangat mirip dengan Alan! Hanya saja ia tidak berkacamata tebal. Aku berpikir, kalau ternyata orang itu memang benar Alan, artinya dia seorang yang amat istimewa. Selain (terlihat) pintar dan rajin, ternyata tampangnya tak kalah dengan cowok-cowok lainnya yang kukenal selama ini. Semuanya itu membuat jantungku semakin berdebar.
***
Suatu ketika, Alan mengajakku untuk melihat pemotretannya. Dia berkunjung ke rumahku. “Vonne, ada yang nyari kamu, tuh. Namanya Alan. Kalian pacaran, ya?” tanya Mama. “Nggak kok, Ma!” jawabku tergagap, “ka… kami cuma teman…” “Bagus, kalau begitu. Ingat perkataan Mama, kan? Lagian sebentar lagi kamu mau ujian, bisa repot kalau kamu pacaran…” “Iya, Ma…” kataku. Mau nggak mau aku harus mengikuti perkataan Mama, meski hati ini ingin sekali menolaknya…
***
Pemotretan itu ternyata melelahkan. Alan kelihatan sangat letih setelah seharian penuh menjalaninya. Aku jadi khawatir apakah istirahatnya cukup. “Kak, jalan-jalan dulu, yuk, sebelum pulang!” katanya. “Eh, kamu nggak capek?” “Nggak, kok, Kak… Ke toko buku mau, nggak? Aku mau beli buku-buku baru… Kakak mau pinjam?” katanya sambil melepaskan contact lensnya dan memakai kacamatanya. “Lan, jangan dilepas, dong! Kamu pake contact lens aja! Kamu lebih cakep kalo lagi nggak pake kacamata, lho!” seruku tanpa sadar. Alan melepaskan kembali kacamatanya, “Masa, ya?” Aku mengangguk bersemangat, dan tanpa sengaja aku menjatuhkan kacamatanya itu, “Eh, maaf! Sori!” Aku memungut kacamata yang sudah pecah itu, “Nanti kuganti, deh!” Namun Alan sepertinya tidak memaafkanku. Ia merebut kacamata pecah itu dariku dan langsung pulang tanpa mengucapkan apa-apa. Aku jadi merasa sangat bersalah. Apa kacamata itu begitu berharga baginya? Besok aku harus minta maaf sama dia…
***
Esoknya, aku menemui Alan di tempat yang biasanya, yaitu perpustakaan. Lagi-lagi, ia membaca buku yang bukan main tebalnya. Dan hari ini, penampilannya terlihat berbeda dari biasanya, karena hari ini dia tidak memakai kacamatanya. (Ya iya lah, kemarin kan aku memecahkan kacamatanya!) Namun, yang lebih berbeda lagi, biasanya ketika ditatap olehku, ia langsung menyadarinya dan mengajakku ngobrol. Hari ini, dia terus membaca buku tanpa mempedulikan kehadiranku. Sepertinya ia masih marah gara-gara perbuatanku kemarin. Bagaimana ini? Apa kami sudah tidak boleh berteman lagi?...
***
Pulang sekolah, (ketika itu aku pulang sore hari karena sebagian besar anak sudah pulang) aku tanpa sengaja melihat Alan lagi. Kasihan, lagi-lagi dia ingin di-bullying oleh seniornya. Kali ini pelakunya adalah sekelompok anak kelas 3 (seangkatan denganku) yang terkenal sebagai tukang palak untuk anak-anak kelas 1.
“…Mana bisa bilang ‘nggak punya uang’! Sini, mana dompet lu!” kata seorang dari anak kelas 3 itu. Alan menyodorkan dompetnya dengan takut-takut, “I… ini, Kak… Kalau nggak percaya, buka aja…” Anak-anak kelas 3 itu melemparkan dompet Alan ke lantai dan menginjak-injaknya, lalu bersiap menghajar Alan. Alan makin ketakutan.
Mulanya aku mencoba untuk tidak peduli, tapi aku tak bisa membiarkan Alan dalam keadaan begini. Aku memberanikan diri menarik Alan keluar dari kerumunan anak kelas 3 itu, dan kami langsung kabur. Sialnya, anak kelas 3 itu berhasil mengejar kami. Aku ditangkap mereka dan mereka hendak menghajarku tanpa ampun, karena sudah ‘menculik mangsa’ mereka.
Tiba-tiba, Alan berteriak kepada anak kelas 3 itu, “Kalian jangan sentuh Kak Yvonne! Kalian boleh hajar aku, boleh apa-apain aku, asal jangan sentuh dia!”
Anak-anak itu langsung berhenti menyerangku dan membalas perkataan Alan, “Lu berani juga, ya! Emang lu pacar dia, apa? Bukan, kan? Mana mungkin Yvonne yang cantik ini jatuh cinta sama junior kutu buku kayak lu! Kalo sampe kalian pacaran, dunia terbalik, kali!” Alan kelihatan panik dan sakit hati mendengar perkataan kakak senior itu, dan langsung kabur. “Hei, jangan kabur! Dasar pengecut! Beraninya cuma segitu aja? Payah!” mereka mulai mengejar Alan. Aku hanya terdiam. Padahal Alan sudah berkali-kali diejek kalau dia kutu buku lah, apa lah, (bahkan dulu, secara tidak langsung aku pernah berkata demikian juga padanya), dan biasanya ia hanya diam. Tapi kenapa kali ini dia bisa sampai kelihatan sakit hati begitu?
***
Sebenarnya bukan Alan yang pengecut, tetapi aku. Aku tidak berani membentak anak-anak kelas tiga itu karena mereka seangkatan denganku, tapi Alan bisa melakukannya. Ah… aneh, kenapa akhir-akhir ini aku terus-terusan mikirin dia, ya? Tadi secara nggak langsung, dia melindungi aku, kan? Apa dia juga punya perasaan yang sama ke aku, ya?
***
“Kok akhir-akhir ini kamu sering ngelamun sih, Vonne?” tanya mamaku, “kamu nggak pacaran diam-diam dengan Alan, kan?” Aku menggeleng. Kalau Mama tau aku jatuh cinta sama Alan, apalagi umurnya 4 tahun lebih muda dariku (dia masuk kelas akselarasi di SD dan SMP), pasti Mama marah besar. Apalagi kalau kami pacaran, bisa-bisa aku dibunuh!
Tapi, cepat atau lambat, aku harus terus terang pada Mama. Hal itu kubuktikan suatu hari.
“Ma, boleh aku bicara sesuatu? Sebenarnya, diam-diam, tanpa sepengetahuanku dan sepengetahuan Mama, aku jatuh cinta sama Alan…” Mama terdiam, mungkin karena sangat kaget. Lalu, seperti yang sudah kuduga, Mama memukulku dan memarahiku habis-habisan.
Beberapa hari kemudian, ketika Mama sedang tidur siang, Alan berkunjung ke rumahku. Ia datang untuk meminta maaf, “Kak, maaf ya, waktu itu aku udah kabur dari Kakak…” katanya. “Nggak usah minta maaf,” aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompetku, “ini uang ganti untuk kacamatamu. Maaf, aku baru ganti sekarang…”
Tiba-tiba, Mama keluar dari kamar dan kaget sekali begitu melihat aku dan Alan asyik mengobrol. Mama langsung menarik paksa Alan keluar rumah. “Ma, jangan!” seruku. “Nggak boleh! Gara-gara dia, pelajaranmu jadi berantakan!” kata Mama. Memang, setelah aku bertemu dengan Alan, nilaiku sedikit turun, tapi sebenarnya itu tidak berpengaruh banyak dalam pelajaranku. Namun bagi Mama, aku adalah anak yang harus mendapatkan nilai 100 agar dapat meneruskan karier Papa sebagai profesor di luar negeri.
Mama memarahi Alan habis-habisan, “Kamu, ya! Gara-gara kamu, nilai anak saya jadi berantakan! Jangan ajak anak saya kemana-mana lagi! Dia harus menjadi profesor seperti papanya! Keluar sana!” Mama mendorong Alan keluar pagar sampai hampir terjatuh.
Alan memegang pintu pagar dan masuk kembali ke dalam rumah, “Tante nggak berhak nyuruh saya keluar! Apa maksud Tante?” “Yvonne nggak butuh teman maupun pacar!” “Memangnya kalau punya teman, kenapa, Tante?” Alan dan Mama terus bertengkar. Aku lagi-lagi hanya diam.
***
“… Kamu telah mengerti?” tanya Mama akhirnya. Alan mengangguk pelan. “Iya… Tapi biarkan saya mengucapkan sesuatu ke Kak Yvonne, sebentar saja… Setelah itu, saya janji nggak akan muncul lagi di hadapan Kak Yvonne…”
Alan menggenggam tanganku erat, lalu berkata, “Kak, sebenarnya… aku udah suka Kakak dari pertama kali kita ketemu… Kakak juga sebenarnya suka sama aku, kan?” Aku mengangguk sambil menangis. “Baiklah, Kak… Mulai sekarang, aku nggak akan muncul lagi di hadapan Kakak… Selamat tinggal, Kak…” katanya berusaha tersenyum, namun suaranya bergetar dan hampir tercekat. Aku tahu, sebenarnya dia juga sama sepertiku, tidak rela untuk berpisah, namun ia menepati janjinya yang terakhir. Dia tidak muncul lagi setelah itu. Kucari ke mana-mana, bahkan ke perpustakaan dan agensinya sekalipun, dia tetap tidak ada. Dia seperti menghilang ditelan Bumi. Ada yang bilang dia sudah pindah ke luar negeri. Ada juga yang bilang dia sudah tewas karena kecelakaan. Entah yang mana yang benar, aku tidak tahu. Yang jelas adalah aku sangat merindukannya.
***
Sekali lagi, cinta itu memang universal. Namun cinta itu kadang menyenangkan dan kadang pula menyakitkan.
Cinta tidak boleh dilakukan secara terpaksa. Jika tidak, kita tidak akan menikmati indahnya rasa cinta itu.
Namun, walau merasa sudah jodoh, ada banyak cobaan yang akan menghadang, tergantung bagaimana kita menghadapinya.
Seperti aku ini…
Pernah dimuat di Magic Box: Let the Stories Spell Cast, dengan perubahan
Selasa, 12 April 2011
Cinta Pertama dan Terakhir (original version)
Diposting oleh Shii di 07.19 0 komentar
Label: cerpen
Cyber Story
Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Terpisah oleh sesuatu yang bernama "jarak".
Tapi, itu tidak menghalangi kita untuk dapat menjalin hubungan satu sama lain...
Kalau ditanya sudah berapa lama aku mengenalmu, rasanya jawabannya tidak terlalu mencengangkan. Aku ingat, aku baru mengenalmu di sebuah forum yang bersama-sama kita ikuti saat akhir tahun 2008 yang lalu.
Tapi, kejadian yang mendasari perkenalan kita-lah yang menurutku merupakan kenangan yang paling membekas di hatiku.
Dulu, sewaktu aku masih menjadi anggota baru di forum itu, aku dibenci olehmu. Apalagi, sejak aku dan kau sama-sama menjadi moderator di forum tersebut, kau terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukamu padaku.
Tapi, sudahlah, hal itu biarlah menjadi masa lalu. Karena, entah bagaimana ceritanya, setelah itu kita berbaikan dan menjadi teman. Ah, bukan, lebih dari sekadar teman. Kau aku anggap kakakku dan sebaliknya, aku dianggap sebagai adikmu. Memang ada perbedaan usia kita, yakni hampir 2 tahun. Kau kelahiran Desember 1991 sedangkan aku September 1993.
Kita kemudian bertukar kontak. Kita saling memberikan nomor HP, ID messenger, dan Facebook masing-masing. Dari situ, kita mulai mengenal satu sama lain. Mengetahui berbagai persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam diri kita. Merasa bahwa kita ini seperti pasangan, yang cocok satu sama lain.
Sejak saat itu, berdua kita saling berbagi cerita, berbagi rahasia yang hanya diketahui kita berdua. Dari kehidupan sehari-hari, cinta, bahkan beberapa masalah keluarga. Rasanya seperti benar-benar punya seorang kakak perempuan di dunia nyata. Maklum, aku adalah anak pertama, yang diam-diam selalu mendambakan sosok seorang kakak. Sosok seorang kakak itu ternyata kutemukan dalam dirimu.
Ketika kau memutuskan keluar dari forum yang sama-sama kita ikuti, jujur, aku agak kaget, karena sebelumnya kau begitu mencintai forum tersebut. Namun, kita berjanji untuk tetap saling kontak, baik lewat Facebook, messenger, maupun SMS. Kadang kita juga saling bertelepon. Dari situ aku dapat mendengar suaramu yang menurutku imut.
Kau menepati janjimu. Setelah itu, kita makin rajin kontak. Bahkan, kita juga saling mengirimkan kado ulang tahun. Aku memberikanmu gambar buatanku yang dikirim bersama permintaanmu, yakni bukuku yang baru saja diterbitkan waktu itu. Sewaktu aku berulang tahun, kau juga memberikan kadomu untukku. Selembar surat darimu, dan beberapa permintaanku, serta sebuah boneka beruang ukuran mini yang kini tergantung manis di tasku. Mungkin, kata-kata dari ibuku ini bisa mewakili perasaanku: “Temanmu baik, ya, jauh-jauh mengirimkan kado ulang tahun dari Kalimantan. Jarang-jarang ada teman yang belum pernah bertemu sebelumnya, tapi bisa berbuat demikian.”
Sayangnya, kenangan manis itu kini perlahan-lahan mulai pudar. Kita semakin jarang kontak karena kesibukan masing-masing. Kau sibuk dengan kuliahmu, sedangkan aku sibuk dengan sekolahku yang kini sudah tinggal beberapa bulan lagi.
Aku hanya berharap, semoga kita bisa mengulang lagi kenangan-kenangan manis yang sudah pernah kita lewati. Karena, menjadi temanmu adalah indah.
Dedicated to @Rinkacchi Suzuki
Diposting oleh Shii di 07.14 0 komentar
Label: half-true story
Hug Me
Selasa malam, hujan
"Sayang..." pacarku berkata.
"Apa?"
"Dingin..."
"Sini aku peluk..."
"Umm... Ga kerasa pelukannya..."
Ia memelukku lebih erat lagi. Kurasakan pipiku merona.
"Hangat, kok..."
Aku tertidur dalam pelukannya.
***
Rabu pagi, cerah
Aku terbangun. Kudapati diriku sedang memeluk laptop dengan jendela messenger yang masih menyala.
Diposting oleh Shii di 07.14 0 komentar
Label: flashfiction