Selasa, 12 April 2011

Cinta Pertama dan Terakhir (original version)

Katanya, cinta itu universal. Tidak membeda-bedakan siapapun. Walaupun tipe ideal kita serba “wah”, tetapi jika jodohnya orang yang biasa-biasa saja, tetap saja kita akan merasa cocok dengan orang itu…
Seperti aku ini. Aku Yvonne, cewek dari sebuah SMA di Jakarta. Aku terkenal sebagai bunga sekolah. Orang-orang, terutama para cowok, sering memujiku sebagai cewek yang cantik dan pintar (aku juara umum di sekolah ini, lho). Namun, di usiaku yang sudah 17 tahun ini, aku masih saja menjomblo. Ada suatu alasan mengapa aku tidak boleh mempunyai pacar, yaitu karena kata mamaku, aku masih belum cukup umur (padahal teman-temanku banyak yang sudah pacaran sejak SMP).
Namun, namanya manusia biasa, tetap saja aku membutuhkan cinta yang sesungguhnya, dan cinta itu kutemukan ketika aku sedang dalam tugasku sebagai pengawas dalam acara tahunan Masa Orientasi Sekolah.
Ketika itu, aku melihat ada 3 orang anak kelas 2 yang sedang memukuli anak kelas 1 sampai babak belur. Aku segera menghampiri kerumunan anak itu, “Hei kalian! Jangan menghajar junior sembarangan, dong!” gertakku. “Maaf, Kak!” ketiga anak kelas 2 itu langsung lari tunggang langgang.
Aku menatap anak kelas 1 yang tadi dihajar itu. Badannya terluka, dan napasnya terengah. “Makasih, Kak,” katanya sambil tersenyum. “Kamu ga apa-apa? Biar kubawa kamu ke UKS,” kataku menawarkan bantuan. “Nggak usah, Kak, aku bisa ke UKS sendiri, kok, makasih…” katanya sambil membetulkan kacamatanya, lalu beranjak pergi. Aku menatap punggungnya yang pergi menjauh…
***
Entah kenapa, hari ini aku sama sekali tidak menikmati makananku. Padahal di depan mataku ada steak tenderloin kesukaanku. Sepanjang hari ini, aku terus memikirkan cowok kelas 1 itu. Aku tidak tahu siapa namanya. Padahal, aku bunga sekolah…
“Kenapa, Vonne?” tanya mamaku heran, “nggak biasanya kamu ngelamun kayak gini…” Ya, memang biasanya aku nggak kayak gini…
Keesokan harinya, di kelas...
“Vonne, ada anak kelas 1, tuh, nyari lu,” kata Amy, teman sebangkuku. “Thanks, ya, My. Kayak gimana orangnya?” Amy tertawa, “Udah, lu keluar aja…” katanya lagi sambil mendorongku.
Begitu keluar, yang tampak di depan mataku sekilas terlihat seperti cowok yang sangat nerd, yang betah berlama-lama di perpustakaan membaca buku ensiklopedia yang tebalnya beribu-ribu yang tebalnya beribu-ribu halaman dan sangat membosankan. Pokoknya, kesan pertama yang dilihat adalah, ‘Aku ga kenal siapa dia!’ Semua cowok yang kukenal selama ini kebanyakan adalah cowok-cowok ngetop, ganteng, jago olahraga, intinya cowok idaman cewek-cewek pada umumnya, deh! Bukan cowok yang hanya berkutat pada pelajaran Matematika, Fisika, Kimia, dan sederetan pelajaran yang membosankan lainnya. Tapi, semakin aku memperhatikannya, aku semakin merasa bahwa aku pernah mengenalnya… Jangan-jangan…
“Siang, Kak! Temani aku ke perpustakaan, yuk!” katanya. Beberapa mili detik setelah dia mengatakan itu, aku menyadari bahwa… “Aku cowok yang Kakak tolong kemarin, lho…”

***
“Vonne, tumben kamu ke perpus! Biasanya kamu paling alergi sama buku!” kata Tia, teman sekelasku yang suka meminjam komik di perpus, “Siapa tuh cowok? Pacarmu, ya?” Mukaku langsung memerah, “Nggak! Mana mungkin gue pacaran sama junior!” “Bukan itu maksudku,” ujar Tia lagi, “tapi kamu itu nggak pantes kalo pacaran sama dia! Orangnya bukan tipe kamu banget, deh!” kata Tia lagi. “Eh, udah dulu ya, Tia!” kataku. Diam-diam aku merasa sangat sedih. Padahal aku belum tahu namanya, tapi kenapa jadi begini? Kutatap anak itu. “Eh, Kak, kenapa? Nggak baca?” wajahnya mengintip dari balik buku. “Nggak ada apa-apa, kok…” bohongku. “Eh iya, kita belum kenalan. Namaku Alan. Nama Kakak siapa?” tanyanya. “Yvonne…” jawabku. “Kak Yvonne, ya…” dia mengulang namaku sambil tersenyum senang. Dan itu menjadi awal dari pertemanan kami.
***
Aku sedang berjalan melintasi taman kota ketika kulihat beberapa fotografer berlalu-lalang lengkap dengan peralatan mereka. Banyak pula orang yang berkerumun. Sepertinya ada pemotretan atau shooting. Dugaanku benar, ada pemotretan model majalah, begitu kata seorang di situ. Ketika aku menerobos kerumunan itu, aku lebih kaget lagi. Aku hampir tidak percaya akan pengelihatanku. Karena… yang menjadi model itu… sangat mirip dengan Alan! Hanya saja ia tidak berkacamata tebal. Aku berpikir, kalau ternyata orang itu memang benar Alan, artinya dia seorang yang amat istimewa. Selain (terlihat) pintar dan rajin, ternyata tampangnya tak kalah dengan cowok-cowok lainnya yang kukenal selama ini. Semuanya itu membuat jantungku semakin berdebar.
***
Suatu ketika, Alan mengajakku untuk melihat pemotretannya. Dia berkunjung ke rumahku. “Vonne, ada yang nyari kamu, tuh. Namanya Alan. Kalian pacaran, ya?” tanya Mama. “Nggak kok, Ma!” jawabku tergagap, “ka… kami cuma teman…” “Bagus, kalau begitu. Ingat perkataan Mama, kan? Lagian sebentar lagi kamu mau ujian, bisa repot kalau kamu pacaran…” “Iya, Ma…” kataku. Mau nggak mau aku harus mengikuti perkataan Mama, meski hati ini ingin sekali menolaknya…
***
Pemotretan itu ternyata melelahkan. Alan kelihatan sangat letih setelah seharian penuh menjalaninya. Aku jadi khawatir apakah istirahatnya cukup. “Kak, jalan-jalan dulu, yuk, sebelum pulang!” katanya. “Eh, kamu nggak capek?” “Nggak, kok, Kak… Ke toko buku mau, nggak? Aku mau beli buku-buku baru… Kakak mau pinjam?” katanya sambil melepaskan contact lensnya dan memakai kacamatanya. “Lan, jangan dilepas, dong! Kamu pake contact lens aja! Kamu lebih cakep kalo lagi nggak pake kacamata, lho!” seruku tanpa sadar. Alan melepaskan kembali kacamatanya, “Masa, ya?” Aku mengangguk bersemangat, dan tanpa sengaja aku menjatuhkan kacamatanya itu, “Eh, maaf! Sori!” Aku memungut kacamata yang sudah pecah itu, “Nanti kuganti, deh!” Namun Alan sepertinya tidak memaafkanku. Ia merebut kacamata pecah itu dariku dan langsung pulang tanpa mengucapkan apa-apa. Aku jadi merasa sangat bersalah. Apa kacamata itu begitu berharga baginya? Besok aku harus minta maaf sama dia…
***
Esoknya, aku menemui Alan di tempat yang biasanya, yaitu perpustakaan. Lagi-lagi, ia membaca buku yang bukan main tebalnya. Dan hari ini, penampilannya terlihat berbeda dari biasanya, karena hari ini dia tidak memakai kacamatanya. (Ya iya lah, kemarin kan aku memecahkan kacamatanya!) Namun, yang lebih berbeda lagi, biasanya ketika ditatap olehku, ia langsung menyadarinya dan mengajakku ngobrol. Hari ini, dia terus membaca buku tanpa mempedulikan kehadiranku. Sepertinya ia masih marah gara-gara perbuatanku kemarin. Bagaimana ini? Apa kami sudah tidak boleh berteman lagi?...
***
Pulang sekolah, (ketika itu aku pulang sore hari karena sebagian besar anak sudah pulang) aku tanpa sengaja melihat Alan lagi. Kasihan, lagi-lagi dia ingin di-bullying oleh seniornya. Kali ini pelakunya adalah sekelompok anak kelas 3 (seangkatan denganku) yang terkenal sebagai tukang palak untuk anak-anak kelas 1.
“…Mana bisa bilang ‘nggak punya uang’! Sini, mana dompet lu!” kata seorang dari anak kelas 3 itu. Alan menyodorkan dompetnya dengan takut-takut, “I… ini, Kak… Kalau nggak percaya, buka aja…” Anak-anak kelas 3 itu melemparkan dompet Alan ke lantai dan menginjak-injaknya, lalu bersiap menghajar Alan. Alan makin ketakutan.
Mulanya aku mencoba untuk tidak peduli, tapi aku tak bisa membiarkan Alan dalam keadaan begini. Aku memberanikan diri menarik Alan keluar dari kerumunan anak kelas 3 itu, dan kami langsung kabur. Sialnya, anak kelas 3 itu berhasil mengejar kami. Aku ditangkap mereka dan mereka hendak menghajarku tanpa ampun, karena sudah ‘menculik mangsa’ mereka.
Tiba-tiba, Alan berteriak kepada anak kelas 3 itu, “Kalian jangan sentuh Kak Yvonne! Kalian boleh hajar aku, boleh apa-apain aku, asal jangan sentuh dia!”
Anak-anak itu langsung berhenti menyerangku dan membalas perkataan Alan, “Lu berani juga, ya! Emang lu pacar dia, apa? Bukan, kan? Mana mungkin Yvonne yang cantik ini jatuh cinta sama junior kutu buku kayak lu! Kalo sampe kalian pacaran, dunia terbalik, kali!” Alan kelihatan panik dan sakit hati mendengar perkataan kakak senior itu, dan langsung kabur. “Hei, jangan kabur! Dasar pengecut! Beraninya cuma segitu aja? Payah!” mereka mulai mengejar Alan. Aku hanya terdiam. Padahal Alan sudah berkali-kali diejek kalau dia kutu buku lah, apa lah, (bahkan dulu, secara tidak langsung aku pernah berkata demikian juga padanya), dan biasanya ia hanya diam. Tapi kenapa kali ini dia bisa sampai kelihatan sakit hati begitu?

***
Sebenarnya bukan Alan yang pengecut, tetapi aku. Aku tidak berani membentak anak-anak kelas tiga itu karena mereka seangkatan denganku, tapi Alan bisa melakukannya. Ah… aneh, kenapa akhir-akhir ini aku terus-terusan mikirin dia, ya? Tadi secara nggak langsung, dia melindungi aku, kan? Apa dia juga punya perasaan yang sama ke aku, ya?

***
“Kok akhir-akhir ini kamu sering ngelamun sih, Vonne?” tanya mamaku, “kamu nggak pacaran diam-diam dengan Alan, kan?” Aku menggeleng. Kalau Mama tau aku jatuh cinta sama Alan, apalagi umurnya 4 tahun lebih muda dariku (dia masuk kelas akselarasi di SD dan SMP), pasti Mama marah besar. Apalagi kalau kami pacaran, bisa-bisa aku dibunuh!
Tapi, cepat atau lambat, aku harus terus terang pada Mama. Hal itu kubuktikan suatu hari.
“Ma, boleh aku bicara sesuatu? Sebenarnya, diam-diam, tanpa sepengetahuanku dan sepengetahuan Mama, aku jatuh cinta sama Alan…” Mama terdiam, mungkin karena sangat kaget. Lalu, seperti yang sudah kuduga, Mama memukulku dan memarahiku habis-habisan.
Beberapa hari kemudian, ketika Mama sedang tidur siang, Alan berkunjung ke rumahku. Ia datang untuk meminta maaf, “Kak, maaf ya, waktu itu aku udah kabur dari Kakak…” katanya. “Nggak usah minta maaf,” aku mengeluarkan sejumlah uang dari dompetku, “ini uang ganti untuk kacamatamu. Maaf, aku baru ganti sekarang…”
Tiba-tiba, Mama keluar dari kamar dan kaget sekali begitu melihat aku dan Alan asyik mengobrol. Mama langsung menarik paksa Alan keluar rumah. “Ma, jangan!” seruku. “Nggak boleh! Gara-gara dia, pelajaranmu jadi berantakan!” kata Mama. Memang, setelah aku bertemu dengan Alan, nilaiku sedikit turun, tapi sebenarnya itu tidak berpengaruh banyak dalam pelajaranku. Namun bagi Mama, aku adalah anak yang harus mendapatkan nilai 100 agar dapat meneruskan karier Papa sebagai profesor di luar negeri.
Mama memarahi Alan habis-habisan, “Kamu, ya! Gara-gara kamu, nilai anak saya jadi berantakan! Jangan ajak anak saya kemana-mana lagi! Dia harus menjadi profesor seperti papanya! Keluar sana!” Mama mendorong Alan keluar pagar sampai hampir terjatuh.
Alan memegang pintu pagar dan masuk kembali ke dalam rumah, “Tante nggak berhak nyuruh saya keluar! Apa maksud Tante?” “Yvonne nggak butuh teman maupun pacar!” “Memangnya kalau punya teman, kenapa, Tante?” Alan dan Mama terus bertengkar. Aku lagi-lagi hanya diam.
***
“… Kamu telah mengerti?” tanya Mama akhirnya. Alan mengangguk pelan. “Iya… Tapi biarkan saya mengucapkan sesuatu ke Kak Yvonne, sebentar saja… Setelah itu, saya janji nggak akan muncul lagi di hadapan Kak Yvonne…”
Alan menggenggam tanganku erat, lalu berkata, “Kak, sebenarnya… aku udah suka Kakak dari pertama kali kita ketemu… Kakak juga sebenarnya suka sama aku, kan?” Aku mengangguk sambil menangis. “Baiklah, Kak… Mulai sekarang, aku nggak akan muncul lagi di hadapan Kakak… Selamat tinggal, Kak…” katanya berusaha tersenyum, namun suaranya bergetar dan hampir tercekat. Aku tahu, sebenarnya dia juga sama sepertiku, tidak rela untuk berpisah, namun ia menepati janjinya yang terakhir. Dia tidak muncul lagi setelah itu. Kucari ke mana-mana, bahkan ke perpustakaan dan agensinya sekalipun, dia tetap tidak ada. Dia seperti menghilang ditelan Bumi. Ada yang bilang dia sudah pindah ke luar negeri. Ada juga yang bilang dia sudah tewas karena kecelakaan. Entah yang mana yang benar, aku tidak tahu. Yang jelas adalah aku sangat merindukannya.
***
Sekali lagi, cinta itu memang universal. Namun cinta itu kadang menyenangkan dan kadang pula menyakitkan.
Cinta tidak boleh dilakukan secara terpaksa. Jika tidak, kita tidak akan menikmati indahnya rasa cinta itu.
Namun, walau merasa sudah jodoh, ada banyak cobaan yang akan menghadang, tergantung bagaimana kita menghadapinya.
Seperti aku ini…





Pernah dimuat di Magic Box: Let the Stories Spell Cast, dengan perubahan

Cyber Story

Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Terpisah oleh sesuatu yang bernama "jarak".
Tapi, itu tidak menghalangi kita untuk dapat menjalin hubungan satu sama lain...
Kalau ditanya sudah berapa lama aku mengenalmu, rasanya jawabannya tidak terlalu mencengangkan. Aku ingat, aku baru mengenalmu di sebuah forum yang bersama-sama kita ikuti saat akhir tahun 2008 yang lalu.
Tapi, kejadian yang mendasari perkenalan kita-lah yang menurutku merupakan kenangan yang paling membekas di hatiku.
Dulu, sewaktu aku masih menjadi anggota baru di forum itu, aku dibenci olehmu. Apalagi, sejak aku dan kau sama-sama menjadi moderator di forum tersebut, kau terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukamu padaku.
Tapi, sudahlah, hal itu biarlah menjadi masa lalu. Karena, entah bagaimana ceritanya, setelah itu kita berbaikan dan menjadi teman. Ah, bukan, lebih dari sekadar teman. Kau aku anggap kakakku dan sebaliknya, aku dianggap sebagai adikmu. Memang ada perbedaan usia kita, yakni hampir 2 tahun. Kau kelahiran Desember 1991 sedangkan aku September 1993.
Kita kemudian bertukar kontak. Kita saling memberikan nomor HP, ID messenger, dan Facebook masing-masing. Dari situ, kita mulai mengenal satu sama lain. Mengetahui berbagai persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam diri kita. Merasa bahwa kita ini seperti pasangan, yang cocok satu sama lain.
Sejak saat itu, berdua kita saling berbagi cerita, berbagi rahasia yang hanya diketahui kita berdua. Dari kehidupan sehari-hari, cinta, bahkan beberapa masalah keluarga. Rasanya seperti benar-benar punya seorang kakak perempuan di dunia nyata. Maklum, aku adalah anak pertama, yang diam-diam selalu mendambakan sosok seorang kakak. Sosok seorang kakak itu ternyata kutemukan dalam dirimu.
Ketika kau memutuskan keluar dari forum yang sama-sama kita ikuti, jujur, aku agak kaget, karena sebelumnya kau begitu mencintai forum tersebut. Namun, kita berjanji untuk tetap saling kontak, baik lewat Facebook, messenger, maupun SMS. Kadang kita juga saling bertelepon. Dari situ aku dapat mendengar suaramu yang menurutku imut.
Kau menepati janjimu. Setelah itu, kita makin rajin kontak. Bahkan, kita juga saling mengirimkan kado ulang tahun. Aku memberikanmu gambar buatanku yang dikirim bersama permintaanmu, yakni bukuku yang baru saja diterbitkan waktu itu. Sewaktu aku berulang tahun, kau juga memberikan kadomu untukku. Selembar surat darimu, dan beberapa permintaanku, serta sebuah boneka beruang ukuran mini yang kini tergantung manis di tasku. Mungkin, kata-kata dari ibuku ini bisa mewakili perasaanku: “Temanmu baik, ya, jauh-jauh mengirimkan kado ulang tahun dari Kalimantan. Jarang-jarang ada teman yang belum pernah bertemu sebelumnya, tapi bisa berbuat demikian.”
Sayangnya, kenangan manis itu kini perlahan-lahan mulai pudar. Kita semakin jarang kontak karena kesibukan masing-masing. Kau sibuk dengan kuliahmu, sedangkan aku sibuk dengan sekolahku yang kini sudah tinggal beberapa bulan lagi.
Aku hanya berharap, semoga kita bisa mengulang lagi kenangan-kenangan manis yang sudah pernah kita lewati. Karena, menjadi temanmu adalah indah.

Dedicated to @Rinkacchi Suzuki

Hug Me

Selasa malam, hujan
"Sayang..." pacarku berkata.
"Apa?"
"Dingin..."
"Sini aku peluk..."
"Umm... Ga kerasa pelukannya..."
Ia memelukku lebih erat lagi. Kurasakan pipiku merona.
"Hangat, kok..."
Aku tertidur dalam pelukannya.
***
Rabu pagi, cerah
Aku terbangun. Kudapati diriku sedang memeluk laptop dengan jendela messenger yang masih menyala.

Selasa, 29 Maret 2011

Untung ada Mbah Owi


Negeri Satwa sedang dilanda kebingungan. Hujan yang tak turun sejak bulan lalu dan diperparah dengan kerusakan hutan membuat negeri itu kekurangan air bersih. Hewan-hewan yang menjadi penduduk negeri itu pun menderita karenanya. Banyak hewan yang sakit perut karena terpaksa minum air yang kotor. Mereka pun tidak bisa mandi dengan bersih karena air yang tercemar. Sayangnya, pemerintah Negeri Satwa tidak bisa berbuat apa-apa akan hal ini.
Maka, pada hari ketujuh setelah bencana itu terjadi, penduduk Negeri Satwa berbondong-bondong berdemo di depan istana Raja Leo si singa hutan, menuntut agar bencana ini segera ditangani. Mereka membawa spanduk bertuliskan "KAMI BUTUH AIR BERSIH!", "SELAMATKAN PERSEDIAAN AIR BERSIH DI NEGERI SATWA" dan berbagai macam spanduk lainnya. Selain itu, mereka juga berteriak-teriak di depan istana Raja Leo. Jajang, si jangkrik yang kecil namun suaranya lantang, dan Wolfie, si serigala yang pandai melolong, pun berorasi menuntut air bersih. Wah, Raja Leo dan para penghuni istana lainnya sampai pusing.
"Bagaimana, ini, Raja?" Ratu Cha-cha, si macan betina yang cantik, kebingungan melihat kondisi di depan istana yang kacau dan berisik.
Raja Leo berpikir keras. "Aku juga bingung... Coba suruh Pasukan Penjaga Kuma -sekumpulan beruang- mengamankan mereka dulu, baru aku......."
Belum selesai Raja Leo menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba Meri si merpati pengantar pesan, terburu-buru terbang menuju Raja Leo.
"Raja Leo, ada pesan dari Mbah Owi!" Meri menyerahkan surat yang baru saja diantarnya kepada Raja Leo.
"Di saat segenting ini?!" agak kesal, Raja Leo membuka pesan dari Mbah Owi, burung hantu tua yang tinggal di pucuk pohon besar di sebelah utara. Hobinya membuat berbagai macam percobaan di dalam laboratoriumnya.
Bunyi surat itu singkat, padat, namun jelas.
"Aku sudah menemukan solusi untuk masalah air bersih ini. Tertanda, Mbah Owi."
Raja Leo tersenyum membaca pesan itu. Mbah Owi memang dijauhi oleh penduduk istana karena ia pendiam dan misterius, sehingga banyak yang mengira ia berkutat dengan ilmu hitam, padahal sebenarnya ia sangat cerdas. Jalan keluar menuju permasalahan ini telah terbuka.
"Meri, tolong sampaikan pada Mbah Owi agar ia segera kemari," perintah Raja Leo.
"Baik, Raja," Meri pun mengepakkan sayapnya dan segera melesat keluar istana.
***
"Selamat datang, Mbah Owi. Aku telah menerima suratmu yang mengatakan bahwa kau telah menemukan solusi untuk masalah air bersih di negeri ini. Sekarang, coba jelaskan," kata Raja Leo sesampainya Mbah Owi di istana. Mbah Owi mengangguk pelan, lalu mengeluarkan beberapa barang dari ransel yang dibawanya. Dua buah tabung plastik besar seukuran botol air mineral ukuran besar, arang, ijuk, batu kerikil besar, batu kerikil kecil, dan pasir.
"Untuk apa barang-barang itu?" Ratu Cha-cha yang ikut menyaksikan, keheranan.
"Saya ingin membuat penyaring air bersih," kata Mbah Owi.
"Bagaimana caranya?" tanya Raja Leo.
"Begini," Mbah Owi melubangi alas salah satu tabung plastik dengan menggunakan ujung cakarnya. Kemudian ia memasukkan berturut-turut ke tabung tersebut batu kerikil besar, batu kerikil kecil, pasir, arang, dan ijuk sebagai alat penyaring. Di bawah alat penyaring itu kemudian diletakkan tabung yang masih kosong. Setelah itu, secepat kilat ia terbang ke arah wastafel membawa tabung itu, diikuti oleh Raja Leo, Ratu Chacha, dan Meri yang sedang menyaksikan. Ia menyalakan wastafel itu, dan keluarlah air yang berwarna kecoklatan dan sangat keruh. Segera ia menampung air keruh itu di tabung yang telah berisi alat penyaring, dan dalam sekejap air yang sudah bening pun mengalir dari lubang yang telah dibuat. Semuanya takjub.
"I-ini bukan sihir, kan?" Meri terpana. Mbah Owi menggeleng sambil tersenyum, kemudian menjelaskan dengan singkat dan padat seperti biasanya. "Batu, pasir, arang, dan ijuk berfungsi sebagai penyaring kotoran pada air sehingga keluarlah air yang bersih setelah melewati penyaringan yang berlapis-lapis."
"Wah, hebat sekali, Mbah!" Raja Leo menepuk bahu Mbah Owi dengan kagum, "sederhana namun sangat bermanfaat untuk menolong negeri ini..."
Maka pada hari itu juga, Mbah Owi diminta Raja Leo mempraktekkan pembuatan alat penyaring air sederhana itu di depan rakyat Negeri Satwa. Rakyat pun menjadi takjub akan kemampuan Mbah Owi. Sejak saat itu, Mbah Owi diangkat sebagai penasehat Negeri Satwa, dan ia disegani oleh penduduk negeri.

Moral: Jangan melihat seseorang dari penampilan luarnya.
Referensi:
Materi "Alat penyaring air sederhana" dari pelajaran Kimia kelas 2 SMA.

Jumat, 18 Maret 2011

Kisah Moni dan Kawan-kawan


Halo, namaku Moni! Aku adalah monitor yang dipakai di rumah Ani, majikanku! Tugasku adalah menampilkan gambar di layarku! Kali ini aku akan memperkenalkan teman-temanku, pasukan komputer!
Di sampingku ada Supi si speaker cerewet yang bertugas mengeluarkan suara. Ada juga Kibi si keyboard, yang paling banyak tombolnya! Ada juga Mus Mouse yang bentuknya seperti tikus, hii... Agak jauh dari sana ada Purin Printer yang berfungsi untuk mencetak. Namun yang terpintar diantara kami semua adalah Sipi si CPU, ketua diantara kami. Ia yang mengatur tugas kami.
Aku dan kawan-kawanku tinggal di rumah Ani sejak tiga bulan yang lalu. Sebelumnya, aku diproduksi oleh penciptaku, para pekerja di pabrik, untuk kemudian dikirim menggunakan truk. Kemudian, aku tinggal di sebuah gudang penuh sesak bersama monitor-monitor lainnya. Sayang sekali kami tidak bisa berkenalan satu sama lain karena kami dibungkus oleh kardus yang amat sempit dan gelap. Akan tetapi, tiga bulan yang lalu, tibalah hari kebebasanku karena akhirnya aku dipindahkan ke toko! Ani dan ayahnya tertarik untuk membeliku bersama dengan Supi, Kibi, dan teman-teman baruku lainnya. Sejak saat itu, kami tinggal di rumah Ani.
Ani sangat senang ketika membawaku pulang. Ia mengeluarkanku dan teman-temanku dari kardus pembungkus yang menyesakkan itu, membuatku bernapas lega setelah sekian lama. Kemudian ia dan ayahnya menaruhku dan teman-temanku di sebuah meja dan diatur sedemikian rupa. Mereka pun tahu cara agar kami dapat berkomunikasi dengan ketua kami, Sipi, dengan cara menyambungkan kabel diantara kami.
Kami pun sudah siap menjalankan tugas kami. Ani tinggal menekan tombol yang terdapat di tubuhku dan Sipi, dan kami pun siap untuk melayani majikan kami, Ani!
Dengan mengoperasikan kami, kami dapat bermanfaat bagi majikan kami. Kami dapat membantu Ani membuat dokumen, mengakses Internet, mendengarkan musik, menonton video dan berbagai macam hal menarik lainnya.
Namun, ada kalanya juga aku atau teman-temanku kelelahan. Kadang, kalau kelelahan, layarku berubah menjadi putih semua, tidak bisa menampilkan apapun. Mus juga kadang-kadang ngadat dan tidak mau menjalankan tugasnya. Yang paling sering ngambek adalah si Purin. Kalau lagi ngambek, dia tidak mau mencetak dan hanya mengeluarkan kembali kertas yang sudah dimasukkan ke tubuhnya tanpa mencetak apapun.
Akan tetapi, di balik semua itu, kami sadar bahwa tugas kami adalah memberikan manfaat bagi Ani! Kami berusaha mengerjakan tugas kami masing-masing dengan maksimal, dan akan selalu berusaha membuat Ani bangga dengan kami! Bagaimana dengan kalian?

Eka dan Ponselnya

Nana, si kucing jalanan, sedang berjalan-jalan di kompleks seperti biasanya untuk mencari makanan. Waktu sedang asyik-asyiknya mengais tong sampah, tiba-tiba Nana ditimpa sesuatu yang asing. BUK!
Sambil memegang kepalanya yang pusing, Nana berusaha mencari tahu apa benda yang menimpanya itu. Ternyata itu benda asing yang baru pertama kali dia lihat! Bentuknya kotak dan ada layarnya, ada tombol-tombolnya juga. Hmm, benda apa ya, itu?
Nana menengok ke arah jalan, berusaha mencari pemilik benda ini. Hmm... tidak ada yang mencari-cari sesuatu, sepertinya. Di seberang sana hanya ada seorang anak yang sedang berjalan dengan tas sekolahnya bernyanyi-nyanyi kecil dengan riangnya. Kira-kira siapa ya pemilik benda ini?
"Nana, sedang apa?" tanya Kiki, sahabat Nana, seekor kucing yang sangat cantik dengan bulunya yang putih dan halus. Menurut ceritanya, dulu dia sempat tinggal di rumah orang kaya, namun dia kabur karena dia takut dengan orang-orang yang ada di salon kucing ("Mereka menarik-narik buluku! Digunting-gunting pula! Sakit!" katanya dulu), dan akhirnya terdampar sampai ke kompleks ini. Ia menatap benda asing yang sedang Nana pegang.
"Anu, Kiki, ini benda apa yah?" tanya Nana bingung.
"Aku pernah lihat yang seperti ini di rumah majikanku dulu!" teriak Kiki senang, "Ini namanya ponsel, Na!"
"Ponsel? Apa itu?"
"Kata orang-orang di rumah majikanku dulu, ini namanya ponsel! Mereka biasanya suka menempelkan ini di telinga mereka. Kadang mereka juga menekan-nekan tombol di benda ini, mengirimkan pesan buat orang lain."
"Wah, kamu tahu banyak, ya!"
"Iya, dong!" Kiki terlihat bangga, "Aku kan pernah tinggal di rumah orang kaya! Eh, ngomong-ngomong, kamu dapat ponsel ini darimana?"
"Aku juga ga tahu... Tadi aku lagi cari makanan, eh ga taunya benda ini nimpa aku..."
"Lho? Jangan-jangan ini ponsel orang yang jatuh, Na!"
"Tapi tadi di sana ga ada siapa-siapa, Ki... Adanya cuma anak kecil..."
"Mungkin ini ponsel milik anak kecil itu!" Kiki terlihat panik, "Kamu tahu kemana dia pergi?"
"Tadi aku lihat ke arah sana..." Nana menunjukkan arah perginya anak kecil itu dengan kaki depannya.
"Ayo kita cari pemilik ponsel ini, Na!" Kiki kemudian mengapit ponsel itu dengan mulutnya dan bersama Nana memulai petualangan mereka.
***
Sementara itu... di rumah Eka, si anak kecil itu...
"Makanya, yang benar kalau jaga barang!" marah Ibu.
"Tapi, tapi aku gak tahu kalau ponselku hilang, Bu..." isak Eka.
"Ponsel itu mahal! Kamu malah membuang-buangnya!"
"Beneran, Bu, ponselku mungkin jatuh di jalan?"
"Gak ada alasan! Ibu hukum kamu, ga dikasih uang jajan satu minggu!"
"Ibu.... Ibu jangan jahat gitu, dong, Bu!" Eka menatap sedih Ibu yang kembali ke dapur. Lalu Eka kembali mengorek-ngorek tasnya, berharap ponselnya ada di sana.
Kemana perginya ponsel Eka, ya?
***
Kembali ke cerita Kiki dan Nana. Sedang apa, ya, mereka?
"Sepadaaaa...." teriak Nana dan Kiki bersamaan di depan kandang Ino si anjing. Tak lama kemudian, keluarlah seekor anjing besar yang menyeramkan, yang mereka panggil Ino. Walaupun anjing besar dan seram, Ino sangat ramah kepada Kiki dan Nana karena mereka pernah menolong Ino waktu Ino jatuh ke sungai dan kakinya terluka.
"Eh, Nana, Kiki! Tumben kemari! Ada apa?" Ino memasang senyumnya yang paling ramah (namun tetap saja terlihat menyeramkan bagi kucing-kucing lainnya).
"Kami mau minta tolong, nih! Ada anak kecil yang sepertinya ponselnya jatuh," Nana menunjuk ponsel yang sedang dibawa Kiki.
"Eh? Benda itu mirip sekali dengan punya majikanku!" Ino terkejut.
"Majikanmu?"
"Iya, tapi sayangnya di sini tak ada anak kecil..."
"Yah," Nana dan Kiki tertunduk kecewa.
"Tapi jangan kuatir, aku akan membantu kalian. Kiki, ayo serahkan ponselnya padaku."
Kiki menyerahkan ponsel itu pada Ino dan Ino mengendusnya.
"Sepertinya aku tahu bau ini. Ayo, ikuti aku!" Ino berjalan di depan, diikuti Kiki dan Nana.
***
Eka tertunduk sedih di depan meja belajarnya. Baru kali ini ia kehilangan barang. Eka merasa sangat bersalah kepada ibunya yang sudah susah payah membelikan ponsel. Eka teringat, ia merengek pada Ibu agar dibelikan ponsel baru seperti teman-teman yang lainnya. Teman-temannya selalu membuatnya iri, karena bisa menelepon, berkirim SMS, mendengarkan musik, bahkan bermain Internet dengan benda mungil nan bermanfaat itu. Namun, justru sekarang ia menghilangkan sendiri ponsel itu.
Eka baru mulai tertidur karena kelelahan menangis ketika tiba-tiba ia mendengar suara kucing dan anjing yang cukup keras di depan rumahnya.
"Meong... Meong..."
"Guk! Guk!"
"Meong!"
Semakin lama suara itu semakin berisik saja, hingga akhirnya ibu Eka keluar dari dapur dan meminta Eka untuk mengusir kucing dan anjing itu.
"Eka, usir kucing dan anjing itu! Berisik sekali mereka!"
"Eh, iya, Bu!" Eka berlari ke halaman rumah, hendak mengusir anjing dan kucing itu. Tiba-tiba matanya tertuju pada benda yang diapit di mulut kucing yang berbulu putih halus. Tak salah lagi, itu ponselnya!
"Itu ponselku!" teriak Eka senang. Kiki meletakkan ponsel yang diapitnya ke lantai, dan diambil oleh Eka.
"Kalian mengantarkan ponselku ke sini? Terima kasih, ya!" mata Eka berbinar bahagia. Ia mengelus bulu Kiki dan menepuk-nepuk kepala Ino dan Nana.
***
"Bu, aku menemukan ponselku kembali!"
"Oh, ya? Dimana?"
"Diantarkan oleh kucing dan anjing!"
"Hah?" tampang Ibu terlihat tidak percaya.
Dalam hati Eka berterima kasih kepada kucing dan anjing itu, sekaligus berjanji untuk lebih menjaga ponselnya di kemudian hari.

Kamis, 17 Maret 2011

First Entry



Selamat datang di blog saya yang kesekian!
Shii tetaplah Shii, seperti Shii di blog-blog yang sebelumnya.
Hanya saja, di blog ini saya akan menerbitkan entri mengenai segala tulisan saya (cerpen, flashfic, etc.), baik untuk lomba, untuk buku, dan seterusnya.
Happy reading!!